KDM Sebut Dana Pemda Jabar Disimpan dalam Bentuk Giro, Purbaya: Malah Rugi!

KDM Sebut Dana Pemda Jabar Disimpan dalam Bentuk Giro

lintaspersitiwanusantara.com – Isu pengelolaan dana milik Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat kembali jadi sorotan publik setelah Ketua Dewan Mahasiswa (KDM) menyebut bahwa sebagian besar dana daerah justru disimpan dalam bentuk giro di bank. Pernyataan ini langsung memicu reaksi beragam, terutama setelah Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, menilai langkah tersebut justru bisa membuat daerah mengalami kerugian.

KDM menyoroti kebijakan keuangan ini karena dianggap tidak produktif dan berpotensi menahan laju perputaran ekonomi daerah. Dana daerah yang seharusnya diputar melalui proyek pembangunan atau program sosial malah ‘mengendap’ di rekening bank tanpa memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat.

Menurut data yang beredar, jumlah dana Pemda Jabar yang mengendap di perbankan mencapai triliunan rupiah, sebagian besar dalam bentuk giro yang tidak menghasilkan bunga signifikan. Kondisi ini memicu perdebatan soal efektivitas pengelolaan keuangan daerah, apalagi di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan percepatan pembangunan pasca-pandemi.

Kritik KDM: Dana Daerah Harusnya Produktif, Bukan Diam di Bank

KDM menegaskan bahwa menyimpan dana dalam bentuk giro bukanlah langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut mereka, dana publik seharusnya digunakan untuk program yang memberikan nilai tambah — seperti pembangunan infrastruktur, pemberdayaan UMKM, atau bantuan sosial produktif.

“Dana daerah jangan hanya jadi angka di laporan keuangan. Harus ada perputaran yang nyata di masyarakat,” ujar salah satu perwakilan KDM dalam keterangannya. Ia menilai bahwa jika dana triliunan rupiah itu dialirkan ke sektor produktif, dampaknya terhadap ekonomi lokal bisa sangat besar.

Lebih jauh, KDM menyebut bahwa kebijakan menyimpan dana dalam bentuk giro menunjukkan lemahnya perencanaan belanja daerah. Banyak kegiatan pembangunan yang tertunda karena serapan anggaran rendah, sementara uangnya sendiri tidak bekerja di lapangan. “Ini masalah klasik yang terus berulang setiap tahun. Ada dana besar, tapi realisasinya lambat,” lanjutnya.

Pandangan KDM ini sejalan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di beberapa daerah lain, yang menyoroti fenomena dana idle atau mengendap di bank dalam waktu lama. BPK menilai hal ini bisa menunjukkan lemahnya manajemen fiskal daerah.

Tanggapan Purbaya Yudhi Sadewa: Dana Giro Justru Bikin Rugi

Menanggapi hal itu, Ketua LPS Purbaya Yudhi Sadewa memberikan pernyataan tajam. Ia menilai bahwa keputusan Pemda Jabar menyimpan dana dalam bentuk giro memang tidak efisien secara ekonomi. Menurutnya, giro memang aman, tapi bunga yang didapat nyaris nol. Sementara itu, inflasi terus berjalan, sehingga nilai riil uang tersebut justru menyusut dari waktu ke waktu.

“Kalau uang didiamkan dalam giro, ya rugi. Karena nilainya akan tergerus inflasi. Sementara kebutuhan daerah terus meningkat,” ujar Purbaya dalam sebuah forum ekonomi di Jakarta. Ia juga menekankan pentingnya inovasi dalam manajemen kas daerah agar uang publik tidak hanya ‘tidur’ di perbankan.

Purbaya menyarankan agar pemerintah daerah mempertimbangkan instrumen lain yang lebih produktif namun tetap aman, seperti deposito berjangka, sukuk daerah, atau bahkan penempatan dana sementara pada proyek investasi yang mendukung pembangunan infrastruktur.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan penempatan dana di giro sering kali bukan karena pertimbangan strategis, tapi karena keterlambatan proses administrasi dan perencanaan anggaran di level birokrasi. “Masalahnya bukan di niat, tapi di sistem. Banyak pejabat keuangan daerah takut salah langkah, jadi lebih memilih dana diam,” tambahnya.

Efek Ekonomi dari Dana Mengendap di Giro

Dana daerah yang mengendap di bank tanpa aktivitas produktif bisa berdampak besar bagi perekonomian lokal. Pertama, belanja daerah yang lambat otomatis menahan laju perputaran uang. Padahal, setiap proyek pemerintah — mulai dari infrastruktur, bantuan sosial, hingga kegiatan desa — berpotensi menciptakan efek berganda (multiplier effect) bagi ekonomi lokal.

Kedua, penundaan penggunaan dana bisa memperlambat realisasi pembangunan. Banyak kontraktor lokal, pelaku UMKM, dan tenaga kerja yang seharusnya mendapatkan manfaat dari proyek pemerintah akhirnya tertunda karena uangnya belum dicairkan.

Ketiga, ketika dana publik hanya disimpan dalam giro dengan bunga minim, nilai ekonominya stagnan. Dalam jangka panjang, ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan daya serap fiskal daerah.

Menurut catatan beberapa ekonom daerah, kebijakan seperti ini sering kali muncul karena rendahnya kapasitas fiskal dan lemahnya koordinasi antarorganisasi perangkat daerah (OPD). Artinya, bukan hanya soal uang, tapi juga soal tata kelola dan manajemen birokrasi.

Pemerintah Daerah Didorong Ubah Pola Pengelolaan Kas

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan pemerintah daerah agar tidak menumpuk dana di bank. Pemerintah pusat menilai bahwa hal tersebut tidak sejalan dengan semangat akselerasi pembangunan nasional.

Kemendagri mendorong agar Pemda segera mempercepat realisasi anggaran, terutama di sektor yang berdampak langsung ke masyarakat. “Serapan anggaran harus cepat dan tepat. Uang di kas daerah itu bukan untuk disimpan, tapi untuk digunakan sesuai prioritas pembangunan,” ujar perwakilan Kemendagri.

Kemenkeu bahkan telah menyiapkan mekanisme pemantauan digital terhadap posisi kas daerah. Melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), pemerintah pusat bisa melihat berapa besar saldo kas dan tingkat serapan APBD setiap bulan. Tujuannya jelas: menekan fenomena dana idle dan meningkatkan efektivitas fiskal daerah.

Dalam konteks Jawa Barat, dorongan ini semakin kuat karena provinsi ini dikenal punya kapasitas fiskal besar, tapi realisasi belanja sering di bawah target. “Kalau Jabar bisa lebih cepat dalam belanja publik, efeknya ke ekonomi nasional juga terasa,” ujar seorang analis fiskal dari Universitas Padjadjaran.

Antara Kehati-hatian dan Ketidakberanian

Fenomena dana Pemda Jabar yang disimpan dalam giro sebenarnya menggambarkan dilema klasik dalam manajemen keuangan publik: antara kehati-hatian dan ketidakberanian mengambil risiko. Di satu sisi, pejabat keuangan daerah wajib memastikan uang publik aman. Di sisi lain, terlalu berhati-hati bisa membuat uang tersebut kehilangan fungsi ekonominya.

Menurut analis kebijakan publik, solusi paling realistis adalah memperkuat kapasitas manajemen fiskal di tingkat daerah. Ini mencakup pelatihan bagi bendahara dan pejabat pengelola keuangan, serta penyesuaian aturan agar tidak menimbulkan ketakutan dalam eksekusi anggaran.

Selain itu, Pemda perlu membuat mekanisme investasi daerah jangka pendek yang tetap sesuai regulasi, seperti deposito berjangka pemerintah atau reksadana pasar uang yang diawasi OJK. Dengan begitu, uang daerah tidak hanya aman, tapi juga memberikan return yang masuk akal.

Langkah lain yang bisa diambil adalah perencanaan anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting). Sistem ini menekankan bahwa setiap alokasi dana harus punya indikator hasil yang terukur, bukan sekadar serapan. Dengan begitu, setiap rupiah anggaran bisa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Suara Publik dan Pengawasan Masyarakat

Munculnya isu ini memicu reaksi luas di media sosial. Banyak warga Jawa Barat yang mempertanyakan mengapa dana publik yang begitu besar justru tidak segera dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Sebagian warganet bahkan menilai bahwa ini bentuk “pemborosan pasif” — di mana uang tidak disalahgunakan, tapi juga tidak digunakan dengan baik.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang transparansi keuangan juga menyoroti perlunya audit terbuka terhadap saldo kas daerah. Mereka menilai, masyarakat berhak tahu ke mana uang pajak mereka disimpan dan bagaimana penggunaannya.

KDM sendiri berjanji akan terus mengawasi isu ini dan mendesak DPRD Jabar untuk memanggil pejabat terkait guna memberikan penjelasan terbuka. “Kami ingin tahu kenapa kebijakan seperti ini bisa terjadi, dan siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaannya,” ujar perwakilan KDM.

Kasus dana Pemda Jabar disimpan dalam bentuk giro bukan sekadar masalah teknis keuangan, tapi juga soal efisiensi dan tanggung jawab publik. Kritik dari KDM dan peringatan dari Purbaya Yudhi Sadewa menjadi pengingat penting bahwa uang rakyat tidak boleh diam tanpa fungsi.

Pemerintah daerah perlu meninjau ulang strategi pengelolaan kas mereka agar lebih produktif, transparan, dan berdampak langsung bagi masyarakat. Karena pada akhirnya, setiap rupiah yang dikelola pemerintah adalah amanah yang harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Jawa Barat.

Dana Pemda Jabar disimpan dalam bentuk giro menjadi cerminan masalah klasik pengelolaan keuangan daerah: aman tapi tidak produktif. Jika kebijakan ini tak segera dievaluasi, potensi kerugian ekonomi dan hilangnya momentum pembangunan bisa semakin besar.